Bagaimana AI Diam-Diam Mengubah Hidup Kita
Kita nggak sadar, tapi setiap hari kita hidup di dunia yang pelan-pelan sedang diatur oleh algoritma
Beberapa tahun lalu, AI itu terdengar seperti sesuatu dari film fiksi ilmiah. Bayangan kita mungkin robot-robot di film Terminator, atau komputer super canggih yang bisa mengalahkan manusia di setiap aspek. Tapi kenyataannya, AI yang ada sekarang nggak selalu berbentuk robot dengan mata merah atau suara metalik. Dia hadir dalam bentuk yang jauh lebih halus, kadang nyaris tak terlihat, tapi efeknya terasa setiap hari.
Pernah nggak kamu lagi ngobrol sama teman tentang satu topik—misalnya kopi—lalu nggak lama, muncul iklan alat seduh kopi di Instagram? Atau kamu buka YouTube, dan di deretan video rekomendasi, ada satu video yang pas banget sama mood kamu saat itu? Itu AI.
Dia bekerja di belakang layar, mempelajari kebiasaan kita, mencatat setiap klik, setiap scroll, setiap detik kita berhenti di suatu konten.
Yang menarik, AI ini nggak cuma soal mempermudah hidup, tapi juga membentuk cara kita melihat dunia. Netflix, misalnya. Dia nggak cuma menebak film apa yang kita suka, tapi juga perlahan membentuk selera kita. Rekomendasi yang muncul bikin kita nonton hal-hal yang mungkin nggak pernah kita pikirkan sebelumnya. Lama-lama, kita nggak tahu lagi apakah itu benar-benar pilihan kita, atau hasil dari saran yang terus-menerus diarahkan.
Di rumah, AI mungkin ada di smart speaker yang bisa nyalain lampu atau setel musik hanya dengan perintah suara. Di jalan, dia ada di aplikasi navigasi yang tahu rute tercepat bahkan sebelum kita sempat berpikir. Di toko online, dia ada di sistem rekomendasi yang tahu produk apa yang sedang kita butuhkan—kadang bahkan sebelum kita sadar kalau kita membutuhkannya.
Masalahnya, AI ini nggak cuma pintar, tapi juga pintar banget. Dia belajar dari miliaran data yang dikumpulkan dari jutaan orang. Kalau kita bilang ke teman “aku suka sepatu ini”, mungkin teman kita akan ingat seminggu. Tapi AI? Dia akan ingat selamanya, dan dia akan terus menghubungkan preferensi itu dengan semua hal lain yang kita lakukan. Dia akan tahu kita suka sepatu itu, jenis musik yang kita dengar saat membukanya, jam berapa biasanya kita belanja, sampai pola tidur kita.
Kadang aku mikir, kita sebenarnya sedang dimanjakan atau sedang dipandu? Karena jujur, ada banyak hal yang sekarang jadi jauh lebih mudah. Dulu kalau mau bepergian ke tempat baru, kita harus buka peta atau tanya orang. Sekarang tinggal buka Google Maps, dan AI akan memandu dari awal sampai akhir, bahkan mengingatkan kalau ada kemacetan di depan. Dulu kalau mau cari resep, kita harus bongkar buku resep atau tanya orang tua. Sekarang, AI bisa kasih kita resep spesifik: “pasta creamy yang cocok dimakan saat hujan, untuk dua orang, siap dalam 20 menit, bahan yang ada di kulkas cuma telur dan susu.” Itu detail yang dulu butuh pengalaman manusia bertahun-tahun untuk tahu.
Tapi, di sisi lain, ada rasa khawatir juga. Karena AI ini bukan cuma alat, dia juga pengamat. Semua yang dia lakukan berawal dari data. Dan data itu? Ya, data kita. Setiap foto yang kita unggah, lokasi yang kita tandai, pencarian yang kita ketik—semuanya jadi bahan bakar untuk membuat AI lebih pintar lagi. Di sinilah mulai muncul pertanyaan etis: seberapa banyak yang kita rela bagikan?
Ada orang yang nggak peduli. “Ah, nggak apa-apa. Asal hidup lebih gampang.” Dan itu valid, karena memang manfaatnya terasa. Tapi ada juga yang merasa nggak nyaman, karena tahu bahwa di balik kemudahan itu, ada perusahaan besar yang mengendalikan data dalam skala yang sulit dibayangkan.
Aku pribadi ada di tengah-tengah. Aku senang ketika AI membantu, tapi aku juga berusaha sadar kalau setiap klik, setiap kata, adalah bagian dari puzzle besar yang sedang dia susun.
Yang bikin AI semakin menarik adalah cara dia berkembang. Kalau dulu update teknologi butuh bertahun-tahun, sekarang bisa hitungan bulan atau bahkan minggu. AI yang setahun lalu cuma bisa jawab pertanyaan sederhana, sekarang bisa bikin musik, melukis, menulis, bahkan bikin kode program. Dan itu semua terjadi sambil kita menjalani hidup sehari-hari, tanpa terasa seperti loncatan besar—tapi kalau kita mundur dan lihat dari jauh, ternyata perubahan itu luar biasa.
Bayangkan sepuluh tahun ke depan. Mungkin kita nggak lagi pegang ponsel, karena semua fungsi itu ada di kacamata pintar atau asisten AI yang selalu siap di telinga kita. Mungkin mobil pribadi kita nyetir sendiri tanpa campur tangan kita sama sekali. Mungkin belanjaan datang otomatis setiap kali stok di rumah menipis, tanpa kita harus buka aplikasi. Semua itu bukan sekadar kemungkinan—tapi sudah mulai dibangun sekarang.
Dan aku rasa, itulah kenapa kita perlu paham AI, walau nggak semua orang mau jadi programmer atau ilmuwan data. Karena AI bukan cuma “alat baru” seperti smartphone atau internet. Dia lebih mirip fondasi baru, yang akan menopang semua teknologi lain di masa depan.
Kalau kita nggak paham bagaimana dia bekerja, kita akan jadi penumpang yang cuma ikut arah tanpa tahu tujuannya. Tapi kalau kita paham, kita bisa jadi pengemudi—atau setidaknya, penumpang yang sadar kemana perjalanannya.
Jadi, kalau sekarang kamu pikir AI itu cuma hal teknis yang rumit, coba lihat sekeliling. Dia ada di musik yang kamu dengar, film yang kamu tonton, rute yang kamu ambil, bahkan di pesan-pesan yang kamu kirim. Dia bukan lagi teknologi masa depan. Dia adalah bagian dari hari ini.